Bukan Milikku



Bukan Milikku
Oleh Maharani Aulia

Masih hari Kamis, tapi uang saku mingguan Doni sudah hampir habis gara-gara keasyikan main di rental PS. Malangnya lagi, sudah dua hari ini Doni harus naik angkot. Biasanya ia berangkat dan pulang bersama Rama yang diantar-jemput sopirnya, Pak Amat. Rama tidak masuk sekolah karena flu.

 Turun dari angkot, Doni berjalan pelan memasuki gerbang kompleks Permata Indah, tempat tinggalnya. Beberapa langkah di depannya berjalan seorang bapak muda berpakaian rapi. Doni memperlambat jalannya. Orang itu merogoh saku kanan celananya. Selembar uang dua puluh ribuan melayang jatuh ketika dia mengeluarkan kunci mobil.
Doni berhenti. Diperhatikannya orang itu masuk ke mobil yang diparkir di dekat taman. Sepertinya dia tamu yang akan pulang, bukan warga kompleks, duga Doni.
Tak berapa lama mobil dan pengemudinya itu berlalu menyisakan kepulan debu. Doni tersenyum dan buru-buru memungut uang itu. Lumayan sampai aku dapat uang saku lagi Senin depan, bisik Doni. Doni pun memasukkannya ke saku celana pendeknya.
Esoknya Rama sudah masuk sekolah kembali. Dan pulangnya Rama mengajak Doni mampir ke Gramedia Manyar. Doni langsung minta izin Mama lewat telepon dan diperbolehkan. Sementara itu, Pak Amat kembali ke kantor ayah Rama setelah menurunkan mereka di depan toko buku. Mereka menitipkan kedua tas mereka dalam satu kotak penitipan bernomor 11. Rama yang memegang kartu nomor penitipan itu.
“Don, aku mau beli 6 judul seri Perjalanan Wisata Dunia. Kamu pasti nggak mau ketinggalan Naruto yang terbaru, kan?” kata Rama.
Uh… Doni baru ingat. Dia kan suka sekali komik Naruto. Sayang kalau melewatkannya begitu saja, sementara dia sudah ada di toko buku. Tapi itu berarti dia harus membayarnya dengan uang yang ditemukannya kemarin.
“Oh, iya, dong. Aku beli,” sahut Doni meringis.
Setelah menemukan buku-buku yang akan dibeli, mereka juga melihat-lihat dan membaca buku-buku bagus lain yang tidak bersegel.
Satu setengah jam kemudian, Pak Amat menelepon ke ponsel Rama. Sebelum mengangkat telepon, Rama meletakkan setumpuk buku yang akan dibelinya dan kartu nomor penitipan di rak di dekatnya. Rama lupa mengambil kantong belanja yang disediakan di setiap gantungan tas di rak.
“Iya, Pak. Kami sudah selesai, kok,” sahut Rama. Lalu ia mengambil buku-bukunya.
Mereka menuju ke antrian di kasir yang tidak begitu panjang. Yah, sisa uangku nanti tinggal sedikit dong, demi Naruto, keluh Doni dalam hati. Dan akhirnya sampai juga giliran mereka membayar.
“Don, jadi satu saja sama aku,” kata Rama.
Doni cengar-cengir. Kalau Rama bilang begitu, biasanya barang Doni yang hanya satu-dua dibayari sekalian olehnya. Wah, uang dua puluh ribu-ku utuh, nih. Asyik, batin Doni girang.
Sambil berjalan turun ke lantai satu, Rama mencari-cari kartu penitipannya.
“Kok nggak ada, ya?” gumam Rama.
“Apanya, Ram?” tanya Doni.
“Nomor penitipan.” Rama mencari-cari di semua saku bajunya.
“Di dompet, ‘kali, Ram.”
Rama membuka dompetnya yang hanya berisi kartu pelajar dan tiga lembar uang seribuan. Lalu ia menggeleng. “Masa sih jatuh… tapi mungkin juga sih…”
Mereka terdiam sejenak.
“Don, kita naik lagi, yuk. Siapa tahu ketemu.”







Mereka menyusuri setiap lantai dan lorong yang tadi mereka lalui. Tidak ketemu juga. Ponsel Rama kembali berdering. Pak Amat memberitahu bahwa ia sudah ada di depan toko buku.
“Tunggu sebentar, ya, Pak.”
Rama akhirnya mengatakan pada petugas penitipan bahwa ia telah menghilangkan nomor penitipan. “Mas, tadi kami titip tas merah dan biru di nomor 11. Masih ingat, kan?”
Petugas itu mengangguk ramah. “Apa ada barang lain yang mau dititipkan lagi?”
Rama menggeleng. “Bukan begitu. Nomornya hilang.”
“Oh, kalau begitu, Adik harus membayar biaya penggantian kartu sebesar lima belas ribu.”
Rama berbisik pada Doni. “Aku pinjam uangmu dulu. Nanti aku ganti.”
Doni mengangguk. Uang itu kini beralih ke petugas penitipan. Tapi kan nanti Rama ganti, pikirnya.
Setelah menyelesaikan masalah itu, keduanya masuk ke mobil yang sudah menunggu bersama Pak Amat.
“Sudah dapat bukunya?” tanya Pak Amat.
“Sudah, Pak,” sahut mereka.
“Ini ada es kelapa muda,” Pak Amat menyodorkan dua gelas plastik minuman kepada mereka. “Dari Ayah.”
“Wah, terima kasih,” sahut Rama. “Ini, Don!” Rama memberikan segelas kepada Doni.
“Terima kasih,” sahut Doni pula. “Mmm… segar.” Seraya mengunyah kelapa muda, tiba-tiba terlintas di kepala Doni, kebaikan Rama, sahabat dan teman duduknya selama ini. Saat itulah dilihatnya Rama meraih uang sepuluh ribuan dan lima ribuan dari laci kecil di dashboard. Deg! Doni tersentak. Pasti Rama akan mengganti uangnya dengan uang itu.
“Eh, uang yang tadi nggak usah diganti, Ram!” kata Doni cepat.
“Lho, kenapa?” Rama heran.
“Nggak apa-apa. Kamu kan, selama ini sudah baik banget sama aku.”
“Tapi…”
Beneran. Nggak usah.”
Rama mengangguk. “Trims, Don.”
Doni menggeleng. Sampai di depan kompleks Permata Indah, ia turun. Teringat lagi peristiwa ketika ia mengambil uang milik seorang bapak kemarin. Yang aku lakukan tadi bukanlah kebaikan, karena uang itu bukan milikku. Dan apapun yang bukan milikku, tidak akan pernah jadi milikku. Ah, Rama memang teman baikku, pikir Doni seraya memandangi komik Naruto terbarunya.[]

Cerita ini pernah dimuat di Majalah Bobo, tahun 2011. Nomor edisi lengkapnya saya lupa πŸ˜ƒ Akan saya tambahkan setelah ketemu majalahnya nanti.


Comments

Post a Comment

Thank you for visiting 🌻 I'd love to hear your thoughts here