Doni Terlambat... Salah Siapa?



DONI TERLAMBAT… SALAH SIAPA?
Oleh Maharani Aulia

Ibu geleng-geleng kepala melihat cara Doni makan pagi ini. Setiap satu suapan, ia memeriksa buku-bukunya. Kemudian ketika minum, setiap satu tegukan, Doni mengikat tali sepatunya, bergantian kiri dan kanan.
“Kok Ibu tidak membangunkan aku, sih?” gerutunya.
“Kenapa jadi Ibu yang salah?” sahut Ibu seraya memanaskan mesin sepeda motor. “Kan kamu sudah menyetel jam alarm?”



Doni tak bisa membantah. Pukul 5 tadi alarm sudah berbunyi nyaring. Tapi Doni tidak bangun juga karena kelelahan. Sebenarnya, semalam Ibu dan Ayah sudah mengingatkannya untuk segera tidur. Namun Doni tetap asyik menonton VCD kartun favoritnya hingga pukul 11 malam.
“Cepat sedikit, Doni. Sebelum gerbang sekolahmu ditutup,” kata Ibu yang sudah siap mengantarnya seperti biasa.
Ibu dan Doni memakai helm, dan  meluncur kemudian. Di perempatan jalan yang pertama, lampu merah menyala. Ibu pun berhenti. Doni melihat jam tangannya. Pukul 06.45. Kebetulan dari arah depan hanya melintas satu-dua kendaraan.
“Jalan terus dong, Bu,” rengek Doni setengah memaksa. “Kan agak sepi.”
“Kamu lihat sendiri, kan. Lampu merah menyala. Kamu tahu apa artinya itu,” sahut Ibu tegas.
Ah, Ibu, gerutu Doni dalam hati. Setelah ini mereka masih harus melewati satu lampu lalu lintas lagi sebelum tiba di sekolah. Semoga nanti pas lampu hijau, harap Doni.
Tapi harapan Doni meleset. Jalanan yang mereka lalui berikutnya cukup padat dan lagi-lagi lampu merah menyala. Ibu dan Doni harus berhenti lagi.
Terlihat beberapa teman Doni dari kelas lain yang juga diboncengkan sepeda motor oleh pengantar masing-masing. Beberapa pengemudi sepeda motor lainnya naik ke trotoar dan maju hingga melanggar batas kendaraan berhenti. Zebra cross pun dipenuhi pengemudi sepeda motor yang seperti tidak sabar menunggu lampu hijau menyala.
“Ibu maju dong, seperti orang-orang itu,” rengek Doni lagi.
Ibu tersenyum dan melirik  Doni melalui kaca spion.
Zebra cross itu untuk siapa, Doni?” Tanya Ibu.
Untuk pejalan kaki, Bu, Doni menjawab dalam hati. Dilihatnya lagi jam tangannya. Pukul 06.50. Lima menit lagi pintu gerbang ditutup. Doni menarik napas berat. Ah… kenapa dulu Ibu dan Ayah memilihkan sekolah yang jauh sih? Hmm… sekarang jarak yang disalahkan Doni.
Kemudian terdengar bunyi… bruuukk!! Seorang pengemudi sepeda motor menyelonong maju. Ia jatuh terperosok ke dalam lubang kecil di depan zebra cross.
Orang-orang terkejut melihat peristiwa itu. Begitu juga Doni dan Ibu. Tak berapa lama seorang penyapu jalan, tukang becak, dan penjual koran menghentikan aktivitas mereka dan bergegas menolong orang yang jatuh itu.
“Syukurlah hanya kecelakaan ringan,” komentar Ibu seraya melanjutkan perjalanan. “Mungkin ia terburu-buru karena takut terlambat. Jadinya melanggar peraturan lalu lintas.”
Doni merenungkan kalimat Ibu.
“Tapi banyak juga lho orang yang malas mematuhi peraturan lalu lintas. Atau sengaja melanggarnya,” lanjut Ibu.
Doni ngeri membayangkan akibat yang lebih buruk jika tadi Ibu menurutinya untuk menerobos lampu merah.
Akhirnya ia tiba di depan gerbang sekolah tepat ketika bapak penjaga sekolah bersiap menutupnya. Beruntung Doni tidak benar-benar terlambat. Ia tak sempat mencium tangan Ibu, tapi dari balik pagar ia melambai dan berkata, “Maafkan Doni, Bu.”
Ibu tersenyum dan mengangguk.[]





*
Cerita ini pernah dimuat di Majalah Mombi SD, tahun 2010 

Comments