Kebiasaan Baru

Oleh Maharani Aulia

“Dasar pemulung bandel. Sampah sudah dibungkus rapat-rapat, eh, diobrak-abrik begitu saja,” keluh Ibu.
Dina menghampiri Ibu ke luar pagar. Tampak sampah berserakan di dalam bak sampah. Nasi dan sayuran basi, kulit dan biji buah mangga yang kemarin mereka sekeluarga makan. Bukan pertama kali ini Ibu mengeluhkan hal yang sama.


Dengan memakai sarung tangan plastik Ibu mengumpulkan sampah yang berceceran itu ke dalam kantong sampah baru. “Pernah Ibu lihat mereka ambil gelas dan botol plastik dari kantong sampah yang mereka sobek seperti ini,” sahut Ibu.
Dina membantu memunguti sampah. “Bu, aku pernah lihat di gerbang kompleks rumah teman, ada tulisan ‘Pemulung dan Pengamen Dilarang Masuk’,” ujarnya.
“Seharusnya di sini juga dipasang peringatan itu,” kata Ibu. 
Sebentar kemudian, beres membantu Ibu, Dina duduk menghadap komputer di ruang tengah. Ia mengetikkan ‘mengolah sampah’ di kolom pencarian Google. Banyak informasi menarik. Ada pengolahan sampah yang canggih di Oslo, Norwegia. Cara mudah membuat kompos. Kampung teladan di Jakarta yang mempunyai bank sampah dan mengolah sampah menjadi barang berguna. Dan lain-lain.
Setiap hari melintas di jalan raya saat berangkat dan pulang sekolah, Dina melihat tempat sampah biru dan oranye. Ia tahu kenapa warnanya dibedakan. Tapi… masih banyak orang yang mencampur segala jenis sampah dalam satu tempat. Sampah dapur bercampur dengan pecahan kaca, botol plastik, kaleng, bungkus makanan ringan. Asal semua sampah terbungkus rapi dan tidak ada yang tercecer, mungkin mereka pikir itu beres sudah.
Di rumah, semua orang menjaga kebersihan. Tidak ada sampah berserakan. Semua barang dan perabot tertata rapi. Tetapi Ayah, Ibu, Mas Aji, dan ia sendiri membuang sampah dengan cara yang sama: semuanya dalam satu tempat sampah.
Saking asyiknya memikirkan semua itu, tahu-tahu waktu menjelang sore. Ide dari pemulung yang mengobrak-abrik sampah, informasi dari internet, dan tempat sampah beda warna yang sering dijumpainya, ingin segera dijalankannya. Dina tahu pemulung sebenarnya berjasa mengurangi jumlah sampah yang akan dibawa ke tempat pembuangan akhir.
Dina menaruh kardus bekas air mineral di sisi keranjang sampah dapur. Ibu sedang membersihkan dapur dan hampir melemparkan botol minyak wijen ke keranjang sampah.
“Bu, taruh sini deh,” kata Dina seraya menunjukkan kardus bekas di tangannya.

“Hm?” 
“Sampah plastik, taruh di sini saja. Eh, sampah kertas juga. Sampah kering semua di sini. Nanti kalau sudah penuh, baru kita taruh di depan,” kata Dina.
“Terus?” tanya Ibu.
“Biar pemulung tidak mengobrak-abrik sampah dapur lagi. Dia bisa langsung mengambil sampah yang dia butuhkan dari kardus ini.”
Ibu tersenyum dan memuji, “Kamu pintar.”
Dalam semalam, terkumpul dua kardus penuh sampah kering. Isinya bertambah dengan kaleng sarden yang isinya jadi menu makan malam keluarga. Kantong minyak goreng. Botol sampo kosong dan tabung pasta gigi. Mas Aji menyumbang karton kemasan kopi dan kaleng minuman favoritnya. Dari Ayah, kertas bekas dokumen yang sudah terisi bolak-balik.
Minggu pagi yang ditunggu pun tiba. Dina mengajak Ibu dan kakaknya menunggu di ruang tamu, dari balik kaca.
“Ibu dan Mas Aji, lihat itu.”
Seperti biasa, pemulung itu datang pukul 9 lewat beberapa menit. Dia rupanya punya jam kerja tetap seperti orang lain juga. Biasanya, pemulung itu langsung membuka tutup tempat sampah dan menyobek kantong plastik dengan tongkat besi runcing untuk mencari barang bekas. Tetapi kali ini ia tampak tertegun melihat kardus berisi sampah daur ulang. Tadi Dina sudah menempelkan tulisan ‘Sampah plastik dll di kardus. Jangan menyobek kantong sampah di dalam ya’.
Harapan Dina terwujud. Pemulung itu tidak lagi menyobek kantong sampah berisi sampah dapur. Ia memeriksa isi kardus dengan satu tangan, lalu memasukkan semuanya ke dalam karung yang kemudian dipanggulnya. Dan pergi.
 “Oh… jadi kemarin sibuk-sibuk urus sampah, ini toh, maksudnya?” kata Mas Aji.
“Iya. Keren kan, adikmu?” sahut Dina tersenyum. Ibu juga tersenyum.
“Iya!” sahut Mas Aji sambil menepuk pelan kepala Dina. “Eh, tapi kan ada dua kardus sampah keringnya? Kenapa cuma satu yang dikeluarkan?”
“Masih ada pemulung lain yang biasanya datang siang atau sore. Nah, kardus satunya lagi untuk pemulung siang atau sore itu.”
“Bagus,” puji Ibu.
“Sekarang sudah beres, Din?” tanya Mas Aji. “Aku ada tugas kampus, nih.”
Dina terdiam sebentar. “Mm… belum, sih. Aku ingin kita bikin kompos. Biar tempat sampah enggak cepat penuh. Besok ya Mas, kita bikin?”
Dina membayangkan, andai semua orang mau membuang sampah dengan benar. Andai pengolahan sampah di sini bisa secanggih di negara maju. Bahkan, tempat sampah di sekolahnya pun masih bercampur, untuk semua jenis sampah. Harapan belum bisa terwujud. Tetapi Dina lega karena sudah memulai satu hal kecil yang baik dari rumah. Ibu juga berencana menularkan kebiasaan baru memilah sampah pada acara arisan para ibu minggu depan.

*
Cerita ini pernah dimuat di Majalah Bobo No. 46, Tahun XLIII, terbit 18 Februari 2016

Comments

Post a Comment

Thank you for visiting 🌻 I'd love to hear your thoughts here