![]() |
| Karya terjemahan pertamaku |
Beberapa minggu kemarin (22/11/2021) Mbak Erawati Heru Wardhani meminta saya bercerita tentang pengalaman menjadi penerjemah. He-he, gimana ya.. sekarang saya sudah tidak berprofesi penerjemah. Masih menerjemahkan, tapi sebagai relawan saja.
Eh, tapi apa salahnya bercerita?
Mbak Era ingin tahu karena juga akan diminta berbagi kepada mahasiswa Universitas Padjadjaran tentang pengalamannya menjadi penerjemah. Gimana sih ini, beliau sudah berpengalaman juga, tapi masih nanya aku 🙃
'Mungkin Lia bisa kasih masukan, kira-kira apa saja yang bisa saya sampaikan,' kata Mbak Era. 'Selama ini aku lebih sering sharing tentang penulisan.'
Kita bisa mulai dengan 'sejak kapan tertarik dengan kegiatan atau profesi penerjemahan'. Juga, modal kita sebelum terjun ke dunia ini. Apakah pendidikan bahasa dan sastra atau keterampilan yang bisa dipelajari secara otodidak. Ya, karena saya bisa menerjemahkan tanpa latar belakang pendidikan bahasa dan sastra.
![]() |
| Jawa Pos, Mei 2012 |
Pengalaman pertama sebagai penerjemah juga menarik untuk diceritakan. Dan, kontribusi profesi/kegiatan ini bagi masyarakat, agar orang tahu manfaat karya penerjemahan, di antaranya, memperbanyak bahan bacaan dan meningkatkan literasi masyarakat.
'Oke,' sahut Mbak Era menyimak cerita saya.
'Eh, kekurangan atau kesalahan yang kita lakukan saat masih menjadi penerjemah pemula, juga bisa dikisahkan. Kesalahan itu wajar, ya. Namanya juga masih belajar. Lalu gimana cara kita mengembangkan diri.'
Kata Mbak Era, 'Kayak teknis penerjemahan nggak perlu kali, ya.. kan mereka udah dapat di kampus. Aku malah banyak lupa teori penerjemahan. Sing penting praktik.'
Oh ya, Teman, Mbak Era ini latar belakangnya Sastra Prancis, lho (di UI atau Unpad ya.. saya lupa, ntar deh ditanyain trus di-update di sini).
![]() |
| Siapa pernah nonton film kartunnya? Saya nerjemahin bukunya |
Perlukah menceritakan teknis penerjemahan kepada mahasiswa jurusan penerjemahan/bahasa dan sastra? Kali aja ada mahasiswa nyasar, masuk jurusan bahasa awalnya salah pilih atau terpaksa, tapi kemudian tertarik. Ya, siapa tahu..
Kata Mbak Era, 'Masalahnya, aku tuh udah lama nggak ngomong Prancis. Jadi pasif. Nggak ngomong karena nggak ada lawan bicara. Piye, jal?'
🤭
Iya, semakin dalam kita menyelam ke dunia penerjemahan, teori itu sudah kita praktikkan tanpa sadar. Ya kayak kita lagi ngobrol, gitu.
Mbak Era menyimpulkan, 'Intinya, kuasai bahasa sumber dan bahasa Indonesia dengan baik. Tahu teknik penulisan. Kemarin bisa lolos seleksi penerjemah di Badan Bahasa/Kemdikbud karena tertolong biasa nulis cerita anak.'
Nah, Mbak Era lolos seleksi, saya nggak lolos. Mungkin saya di-diskualifikasi karena masalah administrasi (tanpa ijazah pendidikan terakhir karena hilang dan sedang dalam pengurusan SKPI).
Materi tes di seleksi penerjemah itu diambil dari platform StoryWeaver dari India. Website StoryWeaver ini menyediakan banyak sekali buku cerita anak bergambar (picture books) dalam berbagai bahasa di dunia (bahasa nasional dan bahasa daerah), bisa diunduh secara gratis. Saya sudah bertahun-tahun jadi relawan di sana, eh tapi belum rezeki lolos seleksi di Kemdikbud.
(Profil saya di StoryWeaver ada di sini)'Lia kalau nerjemahin pakai alat bantu, nggak? Kan orang-orang profesional itu pakai CAT tools. Aku nggak bisa,' kata Mbak Era.
He-he, sama sih, saya juga nerjemahin manual aja. Alat bantu saya kamus cetak John M Echols dan Hassan Shadily, juga kamus online (The Free Dictionary by Farlex).
Mbak Era bilang, nanti (26/11) beliau akan bercerita di hadapan audiens mahasiswa Unpad, menginspirasi dan memotivasi. Bagaimana nantinya setelah lulus, mereka bisa menjadi penerjemah di berbagai instansi atau bekerja secara mandiri. Berbagi untuk menginspirasi dan memotivasi ini sesuai prinsip Merdeka Belajar yang dicetuskan Mendikbud Nadiem Makarim.
Wah, keren banget deh, Mbak Era, salah satu teman penulis yang saya kagumi.
'Tantangan Lia selama nerjemahin, apa? Misalnya, kalau aku agak kesulitan nerjemahin cerita yang sumbernya berima. Susah cari padanan yang berima juga.'
Hm.. menerjemahkan cerita berima paling saya suka. Ya memang pertama kali saya kesulitan juga. Tapi kalau sering baca buku terjemahan (karya penerjemah lain) yang berima, kita jadi tahu, kira-kira teks sumbernya seperti apa. Dibikin berima itu kan biar terasa lucu, menghibur, dan meningkatkan minat baca juga, lho. Ah, belum nemu contoh terjemahan saya yang berima, di antara timbunan file di laptop 😆 nanti di-update deh..
Kalau proyek dari penerbit, kadang editor yang menangani membebaskan kita, mau dibikin berima atau tidak, suka-suka. Tapi kalau saya, usahakan berima juga. Bermain-main kata itu seru banget.
Kalau untuk cerita anak, hasil penerjemahan yang berima kadang tidak 100% sama dengan teks sumber, dan ini sah saja. Namanya juga terjemahan bebas. Yang penting tidak melenceng, tidak mengubah makna.
Untuk bisa menerjemahan rima yang sejalan dengan teks sumber, triknya bisa ganti kalimat aktif jadi pasif, misalnya. Utak-atik aja, gitu.
![]() |
| Satu dari 5 novel remaja terjemahanku, Gramedia, 2011 |
Duh, jadi kangen nerjemahin lagi..
Meski bagi saya, menerjemahkan buku orang lain itu ibarat mengasuh anak orang, sedangkan menulis buku terasa seperti melahirkan anak sendiri (tapi beneran anak, kan.. anak rohani), pengalaman menjadi penerjemah memberikan banyak hal berharga. Bagi diri sendiri, juga bagi pembaca.
![]() |
| Memorabilia GLN 2019 |
Sedang tidak menjadikan penerjemahan sebagai sumber penghasilan, saya tetap menerjemahkan cerita anak sebagai relawan atau untuk konsumsi sendiri. Ini penting banget agar skill ini terpelihara.






Comments
Di situ bisa login otomatis dgn account Google atau Facebook kita. Ada pilihan, mau nerjemahin cerita yg sudah ada. Bisa juga menyumbang cerita karya kita sendiri atau menyumbang ilustrasi, bagi ilustrator. Semua otomatis di sana, Dew. Bisa kita revisi sendiri juga (swasunting) kalau suatu saat mau kita perbaiki apa yg kurang
Post a Comment
Thank you for visiting 🌻 I'd love to hear your thoughts here