Aku jadi teringat komedi situasi Tetangga Masa Gitu yang ditayangkan di NET TV beberapa tahun lalu. Dulu aku hanya ikut nonton kalau keponakanku memutarnya via YouTube di TV rumahnya. Tidak benar-benar kuikuti jalan ceritanya. Sekarang kok jadi ingin nonton. Butuh hiburan..
Selasa, 18/01/2022
Hari ini Bapak berulangtahun ke-68. Panjang umur dan sehat selalu, ya, Pak. Semoga segera kembali mau shalat seperti dulu.
Jam 07.20 Bapak baru bangun dan cuci muka, lalu bilang hendak membelikan bumbu nasi goreng, kalau aku belum sempat keluar. Syukurlah :) mungkin Bapak lihat aku lelah dan sibuk mencuci baju segitu banyaknya :)
Lima belas menit kemudian Bapak pulang membawa 2 bungkus bumbu nasi goreng. Oke, aku gorengkan nasi.
Aku mengingatkan Bapak, nanti kalau pergi, jangan lama-lama. Kalau tetangga sebelah mencari Bapak lagi seperti Sabtu (15/01) kemarin, biar aku tidak kebingungan menjawabnya.
Bapak menyahut… aku tidak begitu ingat tepatnya apa yang diucapkan. Intinya, hidup bertetangga itu harus saling memaklumi. Jangan hanya protes karena merasa dirugikan. Kamu pun pernah melanggar hak tetanggamu.
Sambil menyiapkan nasi goreng, aku mencuci di sumur. Bapak mengikutiku sambil bercerita. Pak guru tetangga sebelah itu, dulu pernah memelihara ayam buras, banyak sekali. Sering mereka membuang telur yang gagal menetas atau bangkai ayam ke kebun kami. Tidak hanya itu. Segala sampah beling (pecahan bola lampu, barang pecah-belah) juga dibuang ke kebun kami.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya." (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)
Sambil mengaduk nasi goreng di atas wajan, aku mengingatkan Bapak agar tidak membuang sampah (anorganik) di kebun. Aku menyebut bungkus roti bagelen (dari oleh-oleh Ami kemarin), yang berisi puntung rokok, kenapa Bapak lempar di sekitar luar bangunan kamar mandi :(
Kalau sampah anorganik berserakan di kebun, orang lain bisa mengira tempat kami adalah lahan yang bisa dilempari sampah orang lain seenaknya juga.
Hormatilah tempat tinggalmu sendiri, agar orang lain pun segan. Ini bisikan hatiku sendiri. Aku belum tega menyampaikan kepada Bapak. Aku berusaha membantu merapikan dan membersihkan rumah ini dengan caraku, sebisaku tanpa menyakiti perasaan Bapak. Aku kumpulkan sampah untuk kubawa keluar (ke TPS pasar).
Jam 8 nasi gorengku jadi. Segera kusiapkan sarapan untuk kami bertiga. Bapak dan Putri makan di ruang depan, aku makan di kamar sambil menghadap laptop.
Rupanya Bapak masih ingin bercerita. Jadi sambil makan, Bapak berdiri di pintu kamar, dan melanjutkan.
Tanah halaman depan rumah kami ternyata ditanami pipa saluran air oleh Pak Guru.
Jam 08.14 sarapanku selesai. Jangan lupa minum, jangan kurang cairan biar tetap sehat.
Cerita Bapak masih panjang.
“Kapan leh mendhem pipa kuwi?” tanyaku.
“Taun wingi,” sahut Bapak.
“Taun wingi kapan? Sasi Juni rong ewu selikur aku wis neng kene, lho.”
Bapak terdiam, mencoba mengingat-ingat. Lalu menyebut periode 2020 akhir, sampai awal 2021, kira-kira.
Saat itu Bapak masih mengerjakan perbaikan sebagian bangunan rumah, dibantu beberapa tukang. Pada saat yang sama, Pak Guru juga mempekerjakan tukang untuk membangun saluran air dari rumahnya (di sebelah kanan rumah kami) menuju ke pekarangan rumah Pak Didik di sebelah kiri rumah kami. Itu karena sebagian tanah Pak Didik sudah dibeli Pak Guru untuk ditanami beberapa tanaman buah.
Oh.. jadi begitu..
Pak Guru tidak secara langsung meminta izin kepada Bapak untuk menanam pipa itu, melainkan menyuruh tukangnya untuk bicara kepada tukang Bapak.
Tukang Bapak langsung menyahut, "Juraganmu kuwi ora bener, kok njaluk jalan pintas. Mesthine ya liwat pinggir dalan kana, ta."
Tapi Bapak mengizinkan tanah halaman kami dilewati pipa mereka.
Aku heran, kenapa Bapak mengizinkan? Bukankah Bapak punya hak menolak? Bapak menjawab, Allah saja Maha Pemurah.
Iya, aku tahu Allah Maha Pemurah.
Tapi bagaimana kalau kelak, ahli waris punya kepentingan dengan tanah ini, tanah yang menjadi hak ahli waris? Kelak ketika Bapak sudah tidak ada, bukankah tanah ini menjadi milik generasi penerus?
Kata Bapak, tidak apa jika kelak generasi penerus membongkar tanah kami dan kena pipa mereka. Itu hak kami. Mereka yang pernah menumpang menanam pipa atau apapun, tidak berhak memprotes atas apapun yang kami lakukan di tanah kami sendiri.
π‘
Sekitar 5 tahun yang lalu, Pak Guru pernah meminta berpatungan untuk memakai sambungan internet Speedy pada Bapak. Mereka bayar separuh, lalu mereka protes karena loading-nya lamban.
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya‘” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)
Soal Speedy yang slowly, tentu saja Bapak tidak tahu-menahu. Tapi mereka berburuk sangka dan mengira Bapak mengakalinya.
Dengan kuota tak terbatas dan kecepatan berapa waktu itu (aku lupa), Bapak hanya pakai untuk berinternet seperlunya dengan hp dan TV. Sementara mereka sekeluarga 4 orang, masing-masing pakai untuk laptop dan hp.
Untuk menghentikan keributan, Bapak mengembalikan uang yang mereka bayarkan, dan mempersilakan mereka kalau mau tetap pakai sambungan internet. Pengembalian uang itu mereka terima.
π‘
Aku kembali mengingat beberapa hari yang lalu, Sabtu (15/01) ketika aku sedang masak, Putri tiduran, dan Bapak pergi. Aku mendengar bunyi sesuatu dipukul-pukul. Seperti kasur kapuk yang tebal dipukul dengan penebah.
Bukan. Aku baru sadar, itu suara batang pohon dipukul atau dipotong. Siapa yang melakukan? Jelas bukan Bapak, karena Bapak sedang keluar (memompa ban belakang Supra Fit-ku).
Apa yang dipukul atau dipotong? Pohon bambu kami.
Lalu kudengar nama Bapak dipanggil. Aku menuju ke pintu ruang tamu yang terbuka.
Pak Guru sudah di depan rumah kami. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang ada di tangannya, karena aku masih fokus pada aktivitas memasak makanan untuk kubawa ke hotel Aston Madiun (memenuhi undangan staycation dari Ami).
Pak Guru menanyakan di mana Bapak, dan kujawab sedang pergi. Sudah, dia lalu kembali ke rumahnya.
Raut wajahnya tampak tidak ramah.
Sekarang aku bertanya-tanya, apakah dia hendak menegur Bapak tentang juluran bambu kami yang mengenai rumahnya? Atau dia hanya ingin, aku sebagai anak Bapak, juga tahu soal itu?
Bagaimana dengan rimbunan pohon sawo dan rambutan miliknya yang jatuh ke wilayah kami dan tidak pernah kami ributkan?
“Janganlah seseorang melarang tetangganya menyandarkan kayunya (untuk dijemur) pada dinding rumahnya.” (HR Bukhari)
π‘
Aku masih punya PR: menghubungi dinas lingkungan hidup setempat dan mengusulkan manajemen sampah yang lebih baik. Belum kukerjakan sampai saat ini (21/01) π
Lagi asik-asiknya baca, eh... terganggu dengan pemandangan rambutan merah yang memanggil-manggil.
ReplyDeleteBuahnya menjulur ke rumah ya? Berarti punya Queen dong, meskipun pohonya milik tetangga. Petik petik cepet
Kemarin (25/01) sudah dipetikkan dan dikirim ke rumah, Bude Tari π
Delete