Kulanjutkan saja catatan ini atau reset dan 'pemutihan' dari kewajiban yang kutetapkan atas diriku?
Beberapa tahun lalu aku dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Renovasi sebagian bangunan rumah bagi kami ternyata merepotkan. Orang lain mungkin mengungsi ke rumah cadangan, atau ke apartemen. Kami tidak bisa. Kami harus beradaptasi dengan keadaan, tetap menjalankan aktivitas sebisa kami, di antara puing bangunan. Kondisi itu berdampak pada kehidupan spiritualku.
Barangkali bisa kuumpamakan ketika sekelompok orang (masyarakat) mendapat musibah berupa bencana alam yang salah satu dampaknya adalah mengungsi di tempat umum. Aku tidak bisa membayangkan jika aku berada di antara para pengungsi itu. Makan dan tidur di sebuah bangsal besar. Tidak ada ruang privat. Aktivitas MCK yang jauh dari definisi higienis.
Inilah yang kupahami sebagai salah satu makna sawang-sinawang. Belum tentu aku bertahan dalam situasi itu. Orang lain pun belum tentu kuat menjalani hidupku. Sebagai seorang OCD dan clean freak, berada di pengungsian macam itu tidak terbayangkan ketidaknyamananku. Aku rentan stres (psikis), jadi bagaimana caraku menjaga kewarasan, itu tanggungjawabku.
Live your own life. Happily.
*
![]() |
Blocknote dari Balai Bahasa Jatim kupakai quran journaling |
Quran journaling baru kujalani setelah lewat masa pandemi Covid-19. Sebelum itu, aku tidak pernah mencatat, kecuali ayat-ayat tertentu yang menyentuh langsung ke hati dan pas dengan yang sedang kualami.
Quran journaling versiku adalah aku mewajibkan diri membaca al-quran sedikitnya satu halaman setiap selesai shalat fardu. Kalau ditotal, sehari aku wajib membaca 5 halaman (minimal, syukur kalau bisa lebih). Kadang kalau usai shalat zhuhur aku harus melanjutkan urusan ekonomi kreatif dan tidak sempat baca quran, akan kurapel pada waktu shalat berikutnya.
Jadi, ada utang bacaan yang kutetapkan atas diriku. Kadang, utang itu baru terbayarkan esoknya.
Pada masa renovasi yang sulit itu, ibadahku tidak maksimal. Bacaan quranku hanya sedikit, barangkali sehari aku hanya sempat satu halaman dan itu sangat menyedihkan.
Bukan kesulitan duniawi yang kusedihkan, tapi akibatnya yang membuatku tidak bisa menyempurnakan ibadah. Ya sudah, terima saja keadaan. Itu di luar kehendakku. Aku kan sudah belajar stoikisme.
Sudah kulakukan yang terbaik, ada kondisi yang tidak bisa kuubah.
*
2025 ini.. aku mengenang masa itu, sepanjang setahun atau lebih, kira-kira. Kondisi saat itu membuatku sangat sulit tilawah, sehingga utang bacaan quran menumpuk.
Sampai saat ini, utang itu masih terus kucicil dan berharap segera lunas.
Hari ini, Jumat, 2 Mei 2025 (4 Dzulqa'dah 1446), jam 5:49am, aku sampai di halaman 11. QS Al-Baqarah [2] ayat 70-76. Satu halaman ini adalah jatah bacaan Kamis waktu ashar, 31 Agustus 2023.
Ada masa ketika utang-utang itu tidak kulunasi, tapi aku berusaha mengkhatamkan sekali pada satu Ramadan 2 tahun lalu. Aku mengikuti nasihat tentang tadarus Ramadan itu pokoknya ngebut saja, tidak usah baca terjemahan.
Termasuk masa udzur perempuan yang tetap kuisi dengan tadarus tanpa memegang mushaf, rupanya khatam sekali dalam satu Ramadan itu tidak terpenuhi. Se-ngebut-ngebutnya aku, sudah memasuki malam takbiran aku masih di juz 30 (surah-surah pendek). Mission not accomplished.
Siapalah kita mau menghakimi urusan pribadi seseorang dengan tuhannya..
Aku tidak nyaman membaca al-quran tanpa membaca terjemahannya. Aku perlu paham makna kalam Allah yang diturunkan tidak dalam bahasa ibuku. Dan tentu saja itu butuh waktu yang tidak sebentar. Aku berpedoman pada keistiqamahan saja. Sedikit pun tak apa, yang penting lestari.
Jadi, gimana? Mau lanjut mencicil bayar utang atau putihkan saja? Reset saja mulai hari ini?
👍👍👍👍usaha yang baik dan wajar dipuji. tak apa sedikit. yang penting kita ikhlas mengerjakannya dan istiqamah sampai akhir...
ReplyDelete