[Book Review] Hujan (2016) - Tere Liye

Hujan, Tere Liye, Gramedia Pustaka Utama, 2016


Jam 7:54 pagi ini aku sudah menyelesaikan membaca Hujan (Tere Liye, Gramedia Pustaka Utama, 2016). Langsung laporan ke pemilik pertama buku itu. 'Pas seminggu, ya?' dia bilang.

Hujan

Tere Liye

Gramedia Pustaka Utama, 2016

Aku malah tidak ingat kapan aku mulai baca. Kutengok catatanku di blog ini. Oh, ya. Sepekan. Ini Tere Liye pertama yang kubaca. Ya memang aku baru ditakdirkan membacanya sekarang. Tidak apa, kan?

Belum ingin beli buku lagi kecuali mendesak (buku karyaku sendiri, atau karya orang lain yang amat sangat penting konten/muatannya--btw kenapa sekarang kata 'konten' seakan hanya berkaitan dengan media sosial (Instagram, YouTube)?). Belum ada tempat memadai untuk menyimpan buku. Jadi, buku ini takdirnya sampai ke tanganku bukan atas kehendak hatiku. Seseorang memberikannya kepadaku karena dia pikir isinya cocok untukku.

*

Hujan mengisahkan perjalanan hidup Lail, gadis tiga belas tahun, dan Esok, pemuda dua tahun lebih tua darinya, yang mengalami bencana gempa vulkanik dahsyat. Sebuah gunung purba yang terlupakan, meletus. Dampaknya terasa hingga ke empat negara(?); 21 Mei 2042.

Bencana itu membuat Lail kehilangan ibu dan ayahnya; dan Esok kehilangan empat kakak laki-laki. Ibu Esok selamat, tetapi kedua kakinya harus diamputasi.

*

Kenapa Tere Liye menamai tokohnya Esok? Apakah dia tidak memakai kata 'esok' sebagai penanda waktu?

Hujan, Tere Liye, Gramedia Pustaka Utama, 2016


Ternyata ada 'Esok harinya..' dalam awal sebuah kalimat (h. 43). Di akhir bab 17 (h. 176) baru kutemukan nama panjang Esok: Soke Bahtera.

Aku menemukan kejanggalan sampai di Bab 8. Peristiwa gunung meletus skala 8 VEI telah setahun berlalu. Pemulihan berjalan cukup baik (ini kesimpulanku sebagai pembaca; mungkin aku keliru kalau ada yang terlewat atau aku kurang cermat membaca).

... Dalam waktu dekat, delapan pusat pengungsian akan ditutup (h. 73).

Besok lusa, bangunan stadion itu akan direnovasi, kembali megah seperti sedia kala. Century Mall dan Waterboom kembali beroperasi penuh (h. 76).

Hm... padahal bencana itu memusnahkan penduduk dalam jumlah besar. Populasi manusia turun. Kok, gedung-gedung kembali dibangun dengan kemegahan yang sama? Memangnya siapa yang beraktivitas di dalamnya? Tidak ada detail pengelola tempat-tempat publik itu dan pengunjungnya ngapain saja?

Sebagai pembaca, aku merasa itu seperti tempelan saja.

*

Usai bencana, aktivitas Esok adalah diangkat anak oleh keluarga Wali Kota yang juga membangun kembali toko kue milik ibu Esok. Lail menemukan sahabat bernama Maryam, mereka kemudian menjadi penghuni panti sosial dan mendaftar sebagai relawan di Organisasi Relawan. Mereka anak-anak yang tangguh dan cekatan, hingga mencetak prestasi di tengah kehidupan normal remaja yang kadang bertengkar dan bergurau.

Relasi hati antara Lail dan Esok dikisahkan secara halus, dengan konflik ringan dengan keberadaan tokoh Claudia (anak perempuan Wali Kota, seusia Lail), yang memantik sedikit kecemburuan dalam hati Lail.

*

Kenapa novel ini berjudul Hujan? Lail menyukai hujan. Setiap momen penting dalam hidupnya sejak kecil terjadi ketika hujan turun. Ia menerima setiap peristiwa termasuk yang tidak menyenangkan, yang terjadi kala turun hujan.

Konflik batin dalam diri Lail adalah ketika ia merasa diabaikan pada acara wisuda Esok (bab 24-25). Ia datang bersama Maryam, Esok yang mengundangnya lewat telepon. Dalam acara wisudanya, Esok lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga angkat dan teman-temannya. Di meja makan, Claudia, putri tunggal Wali Kota, duduk di samping Esok. Pemandangan yang menyakitkan hati Lail.

*

Lail ingin menghapus pengalaman menghadiri wisuda Esok itu, secara teknis. Dengan modifikasi ingatan. Ia mendatangi Pusat Terapi Saraf dan dilayani Elijah, paramedis perempuan usia lima puluh tahun.

Hujan, Tere Liye, Gramedia Pustaka Utama, 2016


Beberapa kali Elijah mengingatkan bahwa sekali tindakan penghapusan dijalankan, tidak ada lagi yang tersisa. Ia tidak akan mengingat siapapun dan apapun dari peristiwa itu. Lail memantapkan hatinya, terlebih setelah mengetahui bahwa dalam program kapal penyelamatan umat manusia--dampak perubahan iklim dunia--dengan pemindahan sebagian penduduk ke angkasa, ia tidak termasuk warga yang mendapatkan tiket.

Kapal penyelamat desain Esok itu membuatku langsung teringat sekoci dalam film Titanic (1998). Esok mendapatkan tiket sebagai pencipta karena hanya dia yang bisa mengatasi masalah pada kapal itu.

*

Wali Kota meminta Lail merelakan satu tiket cadangan yang dimiliki Esok, untuk Claudia. Wali Kota sangat paham bahwa Esok mencintai Lail dan menduga Esok lebih mengutamakan Lail dibanding siapapun. Pada akhirnya Lail memilih menghapus semua kenangan bersama Esok.

Akhir kisah ini tidak kuduga, bagus dong 😆 ternyata Esok memutuskan tidak ikut ke kapal penyelamat itu. Ia meng-klon saraf otaknya ke mesin pintar yang akan pergi bersama kapal itu, jadi klon otaknya-lah yang kelak akan mengatasi jika ada kendala di sana. Dua tiket jatahnya ia berikan kepada ibunya, dan Claudia. Ia memilih tinggal di Bumi bersama Lail.


Well.. ada hal lain yang bikin aku penasaran dengan novel ini. Kenapa hanya marinir yang terlibat dalam penanganan bencana di awal kisah ini? Bukankah bencana itu terutama berdampak pada penghuni daratan? Memangnya pemerintah di kota tempat tinggal Lail dan Esok tidak ada angkatan darat dan udara?

Hujan, Tere Liye, Gramedia Pustaka Utama, 2016


Tapi aku suka sekali epilognya.


Comments