Sampean

Selesai mendapatkan STNK dari samsat, aku melanjutkan perjalanan naik bus Trans Semanggi menuju alamat berikutnya.

Aku kaget ketika kondektur (di karcis berkode respons cepat ditulis helper, bukan kondektur--berseragam dishub) bilang, sekarang tidak bisa lagi bayar pakai e-wallet QRIS, melainkan harus pakai aplikasi GoBis.

Sampean turun mana?

Aku yang sebelumnya menunduk menekuni hpku, seketika mendongak demi mendengar si kondektur menyebutku 'sampean'.

Rebo dan Robby
Sumber: YouTube orang


Mas, jangan sampean-sampean, dong. Manggil itu yang sopan, 'Ibu', atau 'Anda', gitu. Kuucapkan itu dengan tegas.

Si kondektur segera menyahut dengan ekspresi bengong (mungkin tidak menduga aku akan menegur setegas itu): Oh.. ya.. Ibu. Ibu turun di mana?

Halte Unesa Lidah.

Tujuanku yang masih jauh memberiku cukup waktu untuk meng-install GoBis dan mengisi saldo (top-up) untuk membayar ongkos bus.

Bukan karena emosi lagi sensitif meski sejam yang lalu aku berhasil memarahi petugas di Samsat yang b*ngs*t. Tuh, kan, aku jadi misuh. Engga.. aku kan cuma mencari rima yang sama dengan Samsat. Biar kayak Jarjit Singh. Astaghfirullah.

Aku orang Jawa, puluhan tahun tinggal di Surabaya. Dengan para sahabat yang biasa ngobrol dalam bahasa Jawa, tidak masalah kami saling menyebut sampean.

Siapa yang menyapa/memanggil dengan sebutan sampean, kapan dan di mana situasi percakapan, menentukan rasa bahasa.

Empat tahun yang lalu, di tengah pandemi Covid-19, aku mendatangi gedung Rektorat Unair untuk mengurus keterangan pengganti ijazahku yang rusak. Satpam perempuan yang menyambutku, menyebutku dengan sebutan 'sampean'. Terasa sekali sikapnya tidak menghormati aku. Karena penampilanku saat itu sederhana, atau tampangku kusut dan lelah karena mondar-mandir antara Polrestabes dan kampus?

Tidak bisa jadi alasan orang tidak menghormati aku. Kamu itu siapa, merasa lebih tinggi dibanding tamu? Apakah kamu juga menyebut sampean kepada tamu lain, misalnya yang berpenampilan necis dan mewah? Kamu berani menyapa pejabat dengan sebutan sampean?

Perbedaan penampilan bukan alasan untuk bersikap hormat atau tidak.

Kalau ngobrol di warung, di pasar, dengan orang lain menggunakan bahasa Jawa, bahasa Surabaya-an, silakan saling menyebut sampean untuk lawan bicaramu.

Tapi di ruang publik, siapapun Anda yang mengabdi untuk kepentingan publik dan digaji dengan uang pajak warga, bicaralah dengan Bahasa Indonesia yang baik, gunakan sapaan yang sopan. Hormati orang lain sewajarnya.

Kata sampean yang sangat mengesankan bagiku sebagai sebutan (dengan niat) merendahkan lawan bicara kudengar dan kutonton di film Rebo & Robby (1991). Aku masih di bangku SMP waktu nonton film itu. Rebo yang diperankan Didi Petet, pada adegan yang berbeda juga memerankan Robby.

Bagi Anda yang ingin tahu jalan ceritanya, silakan cari di Wikipedia/Google dan YouTube, insyaallah masih ada filmnya (semoga legal atau pemilik hak cipta tidak mempersoalkan tayangan online-nya).

Ketika Rebo dengan penampilan sederhananya (karakter asli) menemui Georgiana Supit (calon pacarnya, yang dicomblangi temannya atau siapalah itu), Georgiana menyebutnya sampean.

Tidak begitu ketika Rebo berubah jadi Robby, mahasiswa brilian yang didandani jadi lebih keren saat di kampus.

Ada rasa yang berbeda ketika sampean diucapkan oleh siapa kepada siapa, di mana, dan pada kesempatan apa. Rasa berbeda itu juga dipengaruhi bagaimana niat saat memakai sapaan itu.


Comments